“How long we didn’t meet? Three months?”
Aku mengacak rambutmu perlahan
“Don’t be so excessive, we met last month”
“Tapi itu sudah seperti 3 bulan
yang lalu”
Kamu berkilah sambil menarik
koperku di sepanjang gerbang kedatangan terminal 3. Mengambil antrian taksi dan
menyilahkanku duduk seperti biasa. Seperti bulan-bulan lalu ketika kamu
menjemputku.
Well, sebenarnya aku juga merasa begitu.
“Kamu terlihat lebih gemuk”
Aku mengedikkan bahu.
“Bukannya kamu suka?”
Kamu menggenggam tanganku,
memiringkan kepalamu, kemudian menunjukkan rentetan gigimu yang berantakan.
“Iya suka, looks pretty”
Sekonyong-konyong aku tertawa.
Aku selalu merindu saat-saat ini.
Di tengah riuh penumpang yang datang dan pergi, pengeras suara dari bandara,
sampai tawaran menarik dengan harga yang menggelitik dari para supir taksi. Aku
dan kamu. Menghirup udara yang sama, bernaung di langit yang sama.
Aku memeluk lenganmu, memaku
pandanganku ke arah bis kota yang sedari tadi memuntahkan penumpang tepat di
depan kursi tempat kita duduk.
“Kenapa? Dingin?”
Aroma mint langsung menghampiri
hidungku. Wangi pasta gigi yang kukenal, yang kadang kukecap di sela obrolan
tanpa suara yang sering kita lakukan.
“Nggak, aku kangen”
Tawamu pecah. Berhamburan.
Menyebarkan puing bahagia yang menyusup tanpa permisi.
“Sounds cheesy?”
“Nggak, murahan aja”
Ganti aku yang tertawa.
“Cih, mana ada ceritanya aku
murahan sama kamu, aku gratisan kalau
sama kamu”
Lagi. Tawamu memenuhi rongga
telingaku, meninggalkan residu bertempo andante
yang berjalan santai menuju otakku. Kamu menciumku sekilas. Membiarkan rambut
halus di atas bibirmu menggelitik pipiku yang dibubuhi serbuk merah jambu.
784 kilometer
Jarak yang kutempuh selama satu
jam dua puluh menit di atas lautan pendar lampu. Jarak yang kutempuh hanya
untuk mencium harum tubuhmu yang keterlaluan memabukkan. Bahkan Chivas Regal dengan presentase alkohol hingga
25% pun, tak begitu memabukkan jika dibandingkan dengan wangi yang bersembunyi
di bawah kemeja kotak-kotakmu.
Asal kamu tahu, wangi itu selalu membuatku ingat di pagi kali
pertama kita bertemu. Di sebuah kamar hotel. Di Surabaya. Kala itu. Aku dan kamu.
Tidak ada hubungan.
“Pagi.” Katamu pagi itu. Sedikit
terkejut mendapatimu sudah berganti memakai kaos berwarna ungu disertai wangi
sabun yang memenuhi rongga hidung. Sedang aku, masih berbalut selimut dengan
muka tertimbun bantal.
“Hai”
Aku ingat. Hanya itu kata-kata
yang keluar dari mulutku. Disertai senyum tipis yang terpaksa kugambar di garis
bibirku. Aku masih mengantuk luar biasa.
Sedetik kemudian sudah kudapati
kamu di hadapanku. Memotong jarak pandangku dengan senyumanmu yang mendarat
cepat di bibirku.
Aih, sungguh candu di kala rindu.
“Kenapa diem?” Tanyamu sambil
mengusap punggung tanganku. Aku menggeleng sambil memamerkan rentetan gigiku.
Aku tidak pernah mengerti
hubungan kita. Bahkan ketika kamu memutuskan untuk menyatakan cinta padaku kala
itu. Di awal pagi, di akhir obrolan kita yang mengalir sejak malam sebelumnya.
“Kenapa kamu suka aku?” Tanyaku.
Tiba-tiba. Lalu menatapmu tepat di kedua biji matamu.
Kamu menyelipkan beberapa
helai rambut di belakang telingaku.
“Kenapa tanya gitu?”
Aku mengedikkan bahu.
“Ya aku suka kamu soalnya suka, aku
sayang. Emang harus gimana? Kamu juga nggak
pernah tahu alasanmu suka sama aku kan?”
Kamu menciumku sekilas. Lalu
mengusap bibirku dengan ujung jarimu. Cara paling ampuh untuk menenangkanku.
“Kamu habis mikir apa?”
“Nggak ada. Cuma pengen tanya
aja.”
Bohong.
Aku bahkan tidak pernah tahu
persis kapan tepatnya aku pertama kali jatuh sayang padamu. The one thing I know is I want to spend the
rest of my life with you. Ya. Aku tidak pernah berpikir akan membagi
hidupku dengan laki-laki lain selain kamu. Sejak kali pertama aku memelukmu di stasiun,
hingga saat kamu menciumku untuk pertama kali di sela-sela acara National Geographic di malam kita
pertama bertemu.
“Ayo kita pulang.”
Taksi biru yang kamu pesan ternyata sudah siap
menelan kita saat pintunya terbuka. Membawa aku dan kamu melintasi jalanan ber-aspal
menuju ruangan yang tak lebih besar dari ruang tunggu kelurahan. Tempat di mana
aku dan kamu menghabiskan malam-malam bersama selama setahun ini. Mencuri-curi
waktu di tiap akhir minggu untuk melepas rindu.
Aku menyusupkan kepalaku di dadamu. Gelap yang menyelimuti jok
belakang membuat lengan besarmu leluasa melingkar di pinggangku. Aku dan
kamu. Hanya sepersekian jarak. Di tengah temaram kota yang diguyur hujan, kamu membiarkan
nafasmu yang hangat menggelitik di balik telingaku. Memberikanku kedamaian yang luar biasa
mahal.
Sungguh, tak kamu kencani pun,
aku masih akan bersedia membagi kecup bibirku denganmu..
12 Mei 2014
There are many years to come