Wednesday, September 10, 2014

Hai, Lelakiku..



Semalam kita menghabiskan seperempat hari dalam obrolan panjang di telepon. Najwa Shihab sampai FHM. Aku terkekeh mengingat bagaimana biasanya kita mengisi malam. Bagaimana kita saling melempar argumen atau berselisih paham mengenai hal-hal sepele.

Ya, kita memang pasangan yang aneh, paling tidak itu kata beberapa temanmu –temanku juga sih-. Kamu, tenang, tak lebih berisik dari angin sepoi. Bahkan badai Katrina pun tidak akan menghilangkan rasionalitas dalam kepalamu. Sedang aku? Riuh bagai petasan cabe, ributnya tidak akan hilang dalam hitungan detik. Klise. Kita berdua begitu berbeda!
Tapi aku menikmati setiap waktu yang kita punya. Ada hujan, ada rindu, ada lagu-lagu yang mengiringi 784 kilometer diantara kita.  Telepon, sms, mms, video call, comment di  facebook, e-mail, chatting, semua kita lakukan untuk memangkas jarak yang keterlaluan jauhnya. Atau kalau katamu, sekali-sekali kita perlu surat-menyurat menggunakan merpati. Biar lebih romantis. Kataku, kamu gila.
Aku jadi membayangkan, bagaimana nanti kalau kita tinggal bersama. Tanpa jarak yang harus ditempuh selama satu jam dua puluh menit. Mungkin aku akan lebih sering mengomel karena ketidak pekaan mu. Atau kelakuanmu yang “semau gue”. Mungkin juga kita akan ribut tentang letak sepatu yang tidak sesuai.
Aku ingat kamu tidak pernah berkata-kata manis seperti selai nanas yang legit. Kamu selalu mengajarkan aku untuk membuktikan semua perasaan lewat tindakan. Bukan rangkaian kata mesra yang kerap kali diobral. Kamu tidak romantis sama sekali, tapi aku tidak pernah mendustai nikmat genggaman tanganmu di malam kita bersama.
Mungkin tidak selamanya kita akan saling bermanja-manja. Mungkin ada waktu dimana kita harus diam tanpa memecah amarah. Mungkin akan ada waktu dimana kita saling berjauhan meskipun kita tidur satu ranjang. Tapi, kita tidak akan pernah lupa bahwa kita memiliki satu sama lain. Menikmati waktu yang kita punya. Menjadi teman berbagi sampai waktu yang tak terbatas.
Semoga akan selalu ada kebahagiaan dan doa di sekitar kita. Sampai waktunya nanti,  selalu, aku sayang kamu. Terima kasih..

Tuesday, July 15, 2014

;)

Kalau saya dosen dan kamu mahasiswa, di akhir kuliah saya akan bertanya. 

"Aku sayang kamu, apa ada yang kurang jelas?"

Monday, May 12, 2014

784 Kilometer



“How long we didn’t meet? Three months?”

Aku mengacak rambutmu perlahan

“Don’t be so excessive, we met last month”

“Tapi itu sudah seperti 3 bulan yang lalu”

Kamu berkilah sambil menarik koperku di sepanjang gerbang kedatangan terminal 3. Mengambil antrian taksi dan menyilahkanku duduk seperti biasa. Seperti bulan-bulan lalu ketika kamu menjemputku.

Well, sebenarnya aku juga merasa begitu.

“Kamu terlihat lebih gemuk”

Aku mengedikkan bahu.

“Bukannya kamu suka?”

Kamu menggenggam tanganku, memiringkan kepalamu, kemudian menunjukkan rentetan gigimu yang berantakan.

“Iya suka, looks pretty

Sekonyong-konyong aku tertawa.

Aku selalu merindu saat-saat ini. Di tengah riuh penumpang yang datang dan pergi, pengeras suara dari bandara, sampai tawaran menarik dengan harga yang menggelitik dari para supir taksi. Aku dan kamu. Menghirup udara yang sama, bernaung di langit yang sama.

Aku memeluk lenganmu, memaku pandanganku ke arah bis kota yang sedari tadi memuntahkan penumpang tepat di depan kursi tempat kita duduk.

“Kenapa? Dingin?”

Aroma mint langsung menghampiri hidungku. Wangi pasta gigi yang kukenal, yang kadang kukecap di sela obrolan tanpa suara yang sering kita lakukan.

Nggak, aku kangen”

Tawamu pecah. Berhamburan. Menyebarkan puing bahagia yang menyusup tanpa permisi.

“Sounds cheesy?”

Nggak, murahan aja”

Ganti aku yang tertawa.

“Cih, mana ada ceritanya aku murahan sama kamu, aku gratisan kalau sama kamu”

Lagi. Tawamu memenuhi rongga telingaku, meninggalkan residu bertempo andante yang berjalan santai menuju otakku. Kamu menciumku sekilas. Membiarkan rambut halus di atas bibirmu menggelitik pipiku yang dibubuhi serbuk merah jambu.

784 kilometer

Jarak yang kutempuh selama satu jam dua puluh menit di atas lautan pendar lampu. Jarak yang kutempuh hanya untuk mencium harum tubuhmu yang keterlaluan memabukkan. Bahkan Chivas Regal dengan presentase alkohol hingga 25% pun, tak begitu memabukkan jika dibandingkan dengan wangi yang bersembunyi di bawah kemeja kotak-kotakmu.

Asal kamu tahu, wangi itu selalu membuatku ingat di pagi kali pertama kita bertemu. Di sebuah kamar hotel. Di Surabaya. Kala itu. Aku dan kamu. Tidak ada hubungan.

“Pagi.” Katamu pagi itu. Sedikit terkejut mendapatimu sudah berganti memakai kaos berwarna ungu disertai wangi sabun yang memenuhi rongga hidung. Sedang aku, masih berbalut selimut dengan muka tertimbun bantal.  

“Hai”

Aku ingat. Hanya itu kata-kata yang keluar dari mulutku. Disertai senyum tipis yang terpaksa kugambar di garis bibirku. Aku masih mengantuk luar biasa.

Sedetik kemudian sudah kudapati kamu di hadapanku. Memotong jarak pandangku dengan senyumanmu yang mendarat cepat di bibirku.

Aih, sungguh candu di kala rindu.

“Kenapa diem?” Tanyamu sambil mengusap punggung tanganku. Aku menggeleng sambil memamerkan rentetan gigiku.

Aku tidak pernah mengerti hubungan kita. Bahkan ketika kamu memutuskan untuk menyatakan cinta padaku kala itu. Di awal pagi, di akhir obrolan kita yang mengalir sejak malam sebelumnya.

“Kenapa kamu suka aku?” Tanyaku. Tiba-tiba. Lalu menatapmu tepat di kedua biji matamu.

Kamu menyelipkan beberapa helai rambut di belakang telingaku.

“Kenapa tanya gitu?”

Aku mengedikkan bahu.

“Ya aku suka kamu soalnya suka, aku sayang. Emang harus gimana? Kamu juga nggak pernah tahu alasanmu suka sama aku kan?”

Kamu menciumku sekilas. Lalu mengusap bibirku dengan ujung jarimu. Cara paling ampuh untuk menenangkanku.

“Kamu habis mikir apa?”

Nggak ada. Cuma pengen tanya aja.”

Bohong.

Aku bahkan tidak pernah tahu persis kapan tepatnya aku pertama kali jatuh sayang padamu. The one thing I know is I want to spend the rest of my life with you. Ya. Aku tidak pernah berpikir akan membagi hidupku dengan laki-laki lain selain kamu. Sejak kali pertama aku memelukmu di stasiun, hingga saat kamu menciumku untuk pertama kali di sela-sela acara National Geographic di malam kita pertama bertemu.

“Ayo kita pulang.”

Taksi biru yang kamu pesan ternyata sudah siap menelan kita saat pintunya terbuka. Membawa aku dan kamu melintasi jalanan ber-aspal menuju ruangan yang tak lebih besar dari ruang tunggu kelurahan. Tempat di mana aku dan kamu menghabiskan malam-malam bersama selama setahun ini. Mencuri-curi waktu di tiap akhir minggu untuk melepas rindu.

Aku menyusupkan kepalaku di dadamu. Gelap yang menyelimuti jok belakang membuat lengan besarmu leluasa melingkar di pinggangku. Aku dan kamu. Hanya sepersekian jarak. Di tengah temaram kota yang diguyur hujan, kamu membiarkan nafasmu yang hangat menggelitik di balik telingaku. Memberikanku kedamaian yang luar biasa mahal.

Sungguh, tak kamu kencani pun, aku masih akan bersedia membagi kecup bibirku denganmu..


12 Mei 2014
There are many years to come